Kamis, 10 Juli 2014

BEBERAPA MASAIL FIQHIYAH DALAM KONTEKS SOSIAL BUDAYA DAN DASAR HUKUMNYA



BEBERAPA MASAIL FIQHIYAH DALAM KONTEKS SOSIAL BUDAYA DAN DASAR HUKUMNYA


Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu : Drs. Umar, Lc, M.Ag



Disusun Oleh :

1.    Naila Hulala                    : 111333
2.    Dwi Puspita Sari             : 111334
3.    Titien Malichatin            : 111335

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN TARBIYAH
2014
A.  Pendahuluan
Kehidupan sosial dari hari ke hari terus berubah bersama terjadinya perubahan kondisi geografis, kebudayaan, komposisi penduduk, ideologi dan penemuan-penemuan baru ilmu pengetahuan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini akan terus berlangsung terus dan sangat menentukan peradaban umat manusia. Untuk menyikapi hal tersebut haruslah ada jalan untuk penyelesaiannya yaitu dengan ilmu masail fiqhiyah.
Masalah fiqhiyah merupakan persoalan-persoalan yang muncul pada konteks kekinian dan persoalan tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu, karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya. Persoalan-persoalan tersebut dalam konteks sosial budaya berarti suatu kegiatan yang ada dalam suatu masyarakat yang dikenal dan dijalani oleh masyarakat dalam kehidupan dan berinteraksi abtar masyarakat. Seperti halnya Selamatan kandungan, nyanyian dan musik dan masik banyak lagi yang selama ini sudah dikenal dan dijalani oleh masyarakat itu terdapat kontroversi atas pelaksanaannya ada yang pro dan juga ada yang kontra. Karena merupakan hal yang baru setelah wafatnya Rasulullah SAW.


B.  Rumusan Masalah
Dari pendahuluan di atas tentunya banyak pertanyaan yang muncul mengenai beberapa masail fiqhiyah dalam konteks sosial budaya dan dasar hukumnya, diantaranya adalah:
1.    Bagaimana pengertian sosial budaya ?
2.    Bagaimana contoh masail fiqhiyah dalam konteks sosial budaya ?


C.  Pembahasan
1.    Pengertian Sosial Budaya
Sosial merupakan segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan atau suka memerhatikan kepentingan umum.  Budaya  adalah berasal dari kata sans dan bodhya yang merupakan pikiran, akal dan budi. Budaya sering disebut tradisi atau adat istiadat. Sedangkan tradisi merupakan hal-hal yang dikenal dan dijalani oleh masyarakat dalam kehidupan dan interaksi  mereka, baik berupa ucapan maupun meninggalkan sesuatu.[1]
Terciptanya sebuah kebudayaan dalam masyarakat bukan sekedar dari buah pikir dan budi manusia, tetapi juga dikarenakan adanya  interaksi manusia dengan alam sekitarnya. Interaksi inilah yang menimbulkan adanya sosial budaya dimana tidak hanya interaksi manusia dengan alam tetapi interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan Allah juga dapat menimbulkan sosial budaya.
Seingga menurut pemakalah tradisi (budaya) merupakan kebiasaan yang dilakukan dan dijalani masyarakat secara terus menerus sehingga seakan-akan budaya merupakan hukum tertulis bagi mereka. Maka tidak heran lagi apabila masyarakat yang meyakini atau melakukan hal tersebut selalu mengkait-kaitkan dalam aplikasi kehidupannya.
Tradisi atau budaya terbagi menjadi dua ditinjau dari segi diterima atau tidaknya diantaranya[2] :
1.      ‘Urf Shahih merupakan ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, hal seperti ini dipandang baik dan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
2.      ‘Urf Fasid merupakan ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran Tauhid yang diajarkan agama Islam.
Dapat disimpulkan sosial budaya merupakan segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat yang dilakukan secara terus menerus pada waktu tertentu.

2.    Contoh Masail Fiqhiyah dalam Konteks Sosial Budaya
Ada beberapa contoh masail fiqhiyah dalam konteks sosial budaya salah satunya adalah sebagai berikut[3]:
a.    Selamatan kandungan
Kehadiran seorang anak merupakan dambaan bagi sebuah keluarga. Anak merupakan kebahagiaan yang luar biasa, harta benda keluarga. Apalagi anak-anak yang shaleh shalehah. Penerus perjuangan orang tuanya. Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai cara calon orang tua maupun calon nenek kakek dilakukan. Salah satunya adalah walimatul hamli atau sering kita sebut dengan selamatan kandungan atau tingkeban (tujuh bulanan). Walimatul hamli dilakukan ketika kandungan beumur tujuh bulan bertetapan pada bulan purnama pada tanggal 14. Acara tersebut diawali dengan membaca shalawat barzanji dan ada yang membaca surat Yusuf dan surat Maryam.  
Walimah berasal dari kata walm, yang artinya berkumpul. Secara syara’ walimah digunakan pada makanan yang dibuat untuk mengungkapkan sebuah kebahagiaan. Bisa saja dia memperoleh kesenangan atau terlepas dari kesusahan. Baik kebahagiaan itu telah atau akan terjadi atau bisa jadi belum ada sebab yang melatar-belakanginya.
Dalam literatur fiqh, walimah ada sembilan macam. Yaitu walimat al-urs (pesta pernikahan), walimah al-aqiqah (pesta tujuh atau 40 hari kelahiran), walimatu al-hidzaq karena telah berhasil menghafal al-Quran, walimah al-naqiah karena baru datang dari berpergian jauh, walimah al-i’zdar untuk anak yang baru dikhitan, walimah al-wadlimah untuk keluarga yang ditimpa musibah (kematian) dan walimah al-mu’dabah (pesta yang tanpa sebab).
Menyelenggarakan walimah dengan segala macam bentuknya di atas  hukumnya sunnah. Sedangkan memenuhi undangan walimah hukumnya sunnah kecuali dalam pernikahan dimana hukumnya telah berubah menjadi wajib berdasarkan hadits Nabi Saw :
إِذَادُعِيَ اَ حَدُ كُمْ الَي الْوَ لِيْمَةِ فَلْيَأْ تِهَا
Artinya: “Jika kalian diundang untuk menghadiri walimah, maka penuhilah”.
Hadist tersebut hanya menjelaskan hukum walimatul al-‘urs dengan konsekuensi hukumnya wajib. Sedangkan walimah al-hamli secara tekstual memang tidak ada dalam kitab-kitab fiqh. Akan tetapi kalau dilihat secara definisi walimatul al-hamli dikategorikan dalam fiqh. Oleh karena itu mengadakan walimatul al-hamli boleh-boleh saja. Bahkan dianjurkan karena mengandung muatan doa buat sang bayi yang ada dalam kandungan agar memperoleh keselamatan dan kelak menjadi anak yang baik dan berguna.
b.    Tradisi mandi kembang
Suatu tradisi yang tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya Islam akan menjustifikasi. Dalam prosesi walimah al-hamli, mungkin baca al-Qur’an dan shalawat no problem bahkan dianjurkan. Yang menjadi persoalan adalah tradisi mandi kembang yang dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Metode dalam mandi kembang sendiri bermacam-macam. Dan masing-masing mengandung makna filosofis. Misalnya yaitu : sang istri duduk dikursi plastik atau terbuat dari kayu yang tidak dipaku, maknanya supaya  si jabang bayi bisa lahir dengan mudah dan selamat; separuh tubuh sang istri dibalut dengan kain kafan kemudian disiram dengan air yang dicampur dengan beraneka bunga dan wewangian, maknanya supaya sang jabang bayi kelak bisa mengharumkan nama keluarga; gayung yang dipakai terbuat dari batok kelapa yang masih ada isinya beserta gagangnya terbuat dari pohon beringin, maknanya supaya si jabang bayi bertutur bahasa yang halus dan bisa mengayomi masyarakat; calon nenek mengambil kelapa kuning dan ditimang-timang bagaikan bayi kemudian diletakkan di tempat tidur, maknanya waktu melahirkan nanti agar dipermudah oleh Allah.
Itu semua tergantung atau kembali pada pola pikir masyarakat masing-masing. Sejauhmana anggapan mereka terhadap tardisi tersebut. Jika hanya menganggapnya sebagai suatu tradisi yang turun temurun tanpa ada keyakinan sebagai sebuah ajaran agama tentu tidak ada masalah. Karena dalam praktik tradisi mandi kembang tidak menyalahi praktik Islam.
Manusia hanya bisa berbuat sesuai dengan kemampuannya. Demikian pula dalam memohon pada Allah. Tak sedikit orang awam yang tidak mengerti bagaimana berdoa dengan kata-kata. Apalagi dengan wirid-wirid yang begitu sering kita sebut dengan istilah njelimet. Yang mereka bisa hanya dengan perbuatan asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
c.    Tradisi bersih desa (upacara sadran)
Bersih desa merupakan salah satu upacara adat jawa yang diselenggarakan setelah para petani panen padi. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa syukur karena tanaman padi telah berhasil dipanen dan telah menghasilkan panenan yang memuaskan. Disamping itu, sadran juga merupakan penghormatan terhadap para leluhur yang telah meninggal dunia dan mendo’akan agar dosa-dosanya diampuni oleh Tuhan, serta agar yang di tinggalkan selalu mendapatkan keselamatan, murah rezeki dan mudah sandang pangan serta agar desa terhindar dari bencana.
Bagi masyarakat jawa, kegiatan tahunan yang bernama sadranan ini merupakan ungkapan refleksi sosial keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi makam para leluhur. Ritual ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya nenek moyang. Tradisi ini merupakan simbol adanya hubungan dengan leluhur, sesama dan yang maha kuasa, serta sebuah ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam.
Adapun tujuan dari bersih desa yaitu agar masyarakat sekitar mengetahui bagaimana sejarah dan perjuangan “danyang” dalam membuat, memberi nama dan membentuk desa. Selain itu nyadranan juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya dan keagamaan. Sedangkan hikmahnya dari bersih desa diantaranya dapat mempererat selahturahmi, menanamkan sifat gotong royong, saling mendoakan satu dengan yang lainnya, dan bersama-sama dapat merasakan susah maupun senang orang lain.  
Adapun persiapan sebelum acara dimulai antara lain adalah membersihkan makam-makam leluhur dan mempersiapkan tempat untuk selamatan (kenduri). Sedangkan antusias warga dalam upacara bersih desa ini dapat dilihat dari persiapan warga membuat makanan dan jajanan sebagai salah satu unsur pelengkap ritual tersebut. Disamping dipakai munjung atau ater-ater kepada sanak saudara yang lebih tua dan tetangga dekat. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas kepada sesama.
Hubungan antara keagamaan dengan budaya berada pada posisi yang saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks ini agama membutuhkan budaya untuk lebih mudah masyarakat dalam memahami ajaran agama. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat mejadikan masyarakat jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan kalau pelaksanaan bersih desa masih kental dengan budaya Hindu-Budha dan animisme yang diakulturasi dengan nilai-nilai Islam oleh wali songo. Dari tata cara diatas jelas bahwa bersih desa itu tidak sekedar ziarah kemakam leluhur, tetapi juga terdapat nilai-nilai sosial budaya semisal budaya gotong royong, pengorbanan, status sosial/ekonomi warga. Disini semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari kaum tua kepada kaum muda. Pola interaksi antara masyarakat lokal Hindu-Budha dan nilai-nilai islam menjadikan Islam warna-warni.
d.   Nyanyian dan musik
Di antara hiburan yang dapat menyegarkan jiwa, menggairahkan hati, dan memberikan kenikmatan pada telinga, adalah nyanyian. Islam memperbolehkannya selama tidak mengandung kata-kata keji dan kotor, atau menggiring pendengarnya berbuat dosa. Demikian juga, tidaklah mengapa bila nyanyian itu diiringi dengan musik selama tidak sampai melenakan. Bahkan itu dianjurkan pada momen-momen kebahagiaan dalam rangka menebarkan perasaan gembira dan menyegarkan jiwa. Misalnya pada hari raya, pesta pernikahan, kehadiran orang yang sekian lama pergi, resepsi pada acara istimewa, aqiqah, atau saat kelahiran anak.
Dari Aisyah ra. bahwa ia mengantar pengantin perempuan ke tempat pengantin laki-laki dari kalangan Anshar. Nabi saw. berkata kepadanya,
يَا عَائِشَةُ مَاكَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ ؟ فَإِنَّ اْلاَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ الَّلهْوُ
Artinya: “Wahai Aisyah, mereka tidak menyertakan hiburan? Orang-orang Anshar itu menyukai hiburan.”
Ibnu Abbas ra. berkata bahwa ketika Aisyah menikahkan kerabat dekatnya dengan seorang Anshar, Rasulullah saw. datang dan bertanya, “kalian akan menghadiahkan gadis itu?” “Ya,” jawab mereka. Beliau lalu berkata, “Apakah kalian juga menyertakan orang yang akan menyanyi?” “Tidak,” jawab Aisyah. Lantas Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh orang-orang Anshar itu romantis. Karenanya alangkah baik jika kalian sertakan juga orang yang bertutur, ‘kami datang pada kalian/ Kami datang pada kalian/ Sejahteralah kami/ Sejahterahlah kalian.
Dari Aisyah ra., ia berkata bahwa Abu Bakar ra. masuk ke rumahnya pada suatu hari Mina (Hari Raya ‘Idul Adha), sedang saat itu disampingnya ada dua gadis yang tengah bernyanyi dan memukul rebana, sementara Nabi saw. berada di situ dengan menutupi wajahnya dengan pakaiannya. Serta merta Abu Bakar mengusir kedua gadis itu. Mendengar itu, Nabi saw. membuka tutup wajahnya dan berkata, “Biarkan mereka wahai Abu Bakar, saat ini adalah hari raya.”
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa hadist-hadist tentang dua gadis, permainan orang-orang Habasyah di Masjid Nabi saw., dan aplaus Nabi buat mereka dengan mengatakan, “Ayolah terus, wahai Bani Arfidah!” dan perkataan Nabi saw. kepada Aisyah, “Kamu ingin menyaksikannya?” dan berdirinya Nabi bersama Aisyah untuk menonton hingga bosan, juga tentang Aisyahbermain boneka bersama sahabat-sahabat wanitanya, dikomentari olehnya dengan mengatakan, “Hadits-hadits itu semuanya terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Ini merupakan dalil yang jelas yang menunjukkan bahwa nyanyian dan permainan itu tidak haram. Hadits-hadits ini menunjuk beberapa hal yang ditolerir, antara lain:
Pertama,  bermain (keterampilan), dan tidak asing lagi tentang kebiasaan orang-orang Habasyah dalam menari dan bermain.
Kedua, kegiatan ini dilakukan di masjid.
Ketiga, sabda Nabi saw.  kepada orang-orang Habasyah, ‘Ayolah terus, wahai Bani Arfidah!’ menunjukkan perintah dan aplaus untuk terus bermain. Lalu bagaimana mungkin hal itu diharamkan?
Keempat, ingkarnya Nabi atas sikap Abu Bakar dan Umar ra. yang membenci hiburan, dengan beralasan bahwa saat itu adalah hari raya; yakni waktu bersenang-senang. Ini pun termasuk hiburan yang menyenangkan.
Kelima, diamnya Nabi saw. yang begitu lama ketika menyaksikan dan mendengarkan hiburan itu, untuk menyenangkan hati Aisyah ra. Peristiwa itu menjadi alasan bahwa akhlak yang baik dengan membuat senang hati para wanita dan anak-anak dengan menyaksikan permainan itu lebih baik daripada sikap keras zuhud dan mengengkang diri, serta menjauh dari kesenangan.
Keenam, pertanyaan Rasulullah saw. kepada Aisyah, ‘Apakah kamu suka menyaksikannya?’
Ketujuh, dispensasi hukum untuk menyanyi dan menabuh rebana dari dua orang gadis, .....,” dan seterusnya, seperti yang diutarakan oleh Imam Ghazali dalam As-Sima.
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi’in ra. bahwa mereka mendengarkan nyanyian dan tidak memandang hal itu sebagai dosa.
Adapun hadits-hadits Nabi tentang larangan terhadap nyanyian, semuanya “penuh cacat” dan tidak satupun yang selamat dari kritik para ahli hadits. Abu Bakar Ibnu ‘Arabi berkata, “Tidak ada satupun hadits shahih tentang pengharaman nyanyian.” Ibnu Hazm berkata, “Semua riwayat tentang haramnya nyanyian adalah batil dan palsu.”
Sering kali nyanyian dan musik dibarengi dengan sikap berlebih-lebihan, minuman keras, dan bergadang yang diharamkan. Inilah yang menyebabkan kebanyakan ulama mengharamkan nyanyian atau memakruhkannya. Sebagian dari mereka berkata, “Nyanyian termasuk kata-kata yang sia-sia yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya,

Artinya     : ‘Dan di antara manusia (ada)orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (laghwul hadits) untuk menyesatlkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.’(Luqman: 6).
Mengomentari ini, Ibnu Hazm berkata, “Ayat tersebut sesungguhnya menyebut satu sifat yang barang siapa melakukannya, ia menjadi kafir, tanpa ada khilaf di kalangan ulama; yaitu bila seseorang menjadikan jalan Allah sebagai bahan olok-olok. Inilah yang dicela Allah swt. Namun Allah sama sekali tidak mencela orang yang ‘membeli’ laghwul hadits untuk sekedar menghibur dan menyegarkan jiwanya, bukan untuk menyesatkan orang dari jalan Allah.”
Ibnu Hazm juga membantah orang-orang yang menganggap bahwa nyanyian itu tidak termasuk dalam kategori kebenaran, berarti ia termasuk kebatilan, karena Allah swt berfirman,

Artinya: “Tiada sesudah kebenaran itu melainkan kebatilan.” (Yunus: 32).
Ibnu Hazm berkata, Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan sungguh bahwa bagi setiap orang apa yang diniatkannya.
Karena itu, barang siapa mendengarkan nyanyian dalam rangka membantunya berbuat maksiat kepada Allah, niscaya ia fasik—demikian juga selain nyanyian. Namun barang siapa berniat sekedar untuk menghibur dirinya agar mengokohkan jiwanya untuk semakin taat kepada Allah dan menggairahkan hatinya untuk berbuat kebajikan, tentu ia adalah orang yang taat dan berbuat kebajikan pula, dan perbuatannya itu benar  adanya. Akan halnya orang yang tidak berniat untuk taat maupun untuk maksiat, ia berarti melakukan perbuatan sia-sia yang dimaafkan, seperti seseorang yang pergi ke taman untuk rekreasi, duduk-duduk diberanda rumahnya untuk melihat-lihat pemandangan, atau kegiatan mewarnai bajunya dengan warna ungu, hijau, atau lainnya.....”
Namun demikian, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam masalah nyanyian ini:
1.    Tema nyanyian hendaknya tidak berlawanan dengan etika dan ajaran Islam. Bila ada nyanyian yang mengagung-agungkan minuman keras atau menganjurkan orang untuk mengkonsumsinya, misalnya, tak pelak nyanyian itu berikut kegiatan mendengarkannya adalah haram. Begitu juga hal-hal yang serupa dengannya.
2.    Mungkin tema nyanyian tidak bertentangan  dengan ajaran Islam, akan tetapi cara menyanyikannya menyebabkan ia bergeser dari wilayah halal ke wilayah haram. Misalnya, dengan tarian yang berlenggak-lenggok untuk sengaja membangkitkan gairah nafsu dan syahwat.
3.    Agama memerangi sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam segala hal, hinggapun dalam urusan ibadah. Maka berlebih-lebihan dalam urusan yang sia-sia dam menghambur-hamburkan waktu tanpa guna, tentu lebih patut diperangi. Ingatlah waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Tidak diragukan lagi bahwa berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah dapat mengorbankan waktu untuk kewajiban. Sungguh tepat ungkapan: “saya tidak melihat sikap berlebihan, kecuali di balik itu ada kewajiban yang ditelantarkan.”
4.    Setelah itu semua, tinggallah kini, agar setiap pendengar nyanyian hendaknya menjadi ahli fatwa bagi dirinya sendiri. Apabila nyanyian atau yang semacamnya itu dapat membangkitkan birahi, merangsangnya untuk melakukan maksiat, dan menyebabkan unsur hewaninya mengalahkan unsur ruhani, ia seharusnya segera menjauhinya dan menutup pintu yang menjadi jalan bagi hembusan angin fitnah bagi hati, agama dan akhlaknya. Ia pun kini tenang dan dapat menenangkan yang lain.
5.    Ulama sepakat bahwa nyanyian yang diiringi dengan hal-hal yang haram hukumnya haram pula. Seperti nyanyian untuk mengiringi minuman keras, untuk mengiringi praktek porno atau kejadian lainnya. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi saw., yang para pelaku dan pendengarnya diancam dengan siksa yang pedih. Rasulullah saw. bersabda,

Artinya: “Sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang meminum khamr; mereka menamainya dengan nama lain, lalu diiringi dengan musik-musik dan para biduan wanita. Allah bakal menenggelamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan mereka kera dan babi.
Tidak tentu bahwa yang diubah menjadi babi dan kera adalah bentuk fisiknya, bisa juga mental dan kepribadiannya. Sosoknya sosok manusia namun jiwanya kera dan mentalnya  babi.



D.  Kesimpulan



DAFTAR PUSTAKA



[1] Abdullah bin Qasim Al-Wasyli, Menyelami Samudera 20 Prinsip Hasan Al-Banna, Era Intermedia, Solo, 2007, Hlm. 405
[2] Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh I, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, Hlm. 148
[3] Mudir  ‘Am Ma’had Aly, Fiqh Realitas, Pustaka Belajar, 2005, Hlm. 247-251