KATEGORI DAN PROTOTIPE GURU
Makalah
Dipresentasikan pada mata kuliah : Profesi Keguruan
Semester V tahun 2013
Dosen Pengampu :
Drs. AH.
Choiron M,Ag
Disusun Oleh :
Dwi Puspita
Sari :
111334
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2013
A. PENDAHULUAN
Guru adalah pendidik professional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik baik dari jalur pendidikan formal, pendidikan dasr,
dan pendidikan menengah.
Guru memiliki tugas yang sangat penting sekali, gurulah yang mengembangkan
ilmu pengetahuan dan memperbaiki masyarakat. Sekolah adalah sumber untuk
tiap-tiap kebaikan dan guru yang ikhlas dapat mengangkat derajat umat. Gurulah
yang telah menanamkan pada diri anak didiknya akhlaq yang baik dalam kehidupan
anak didiknya. Dan dari gurulah kebaikan-kebaikan akan diterima oleh peserta
didik.
Oleh sebab itu gurulah yang mempunyai kesempatan yang besar sekali untuk
memperbaiki keburukan-keburukan yang tersebar dalam masyarakat. Seorang guru
bukanlah hanya sebagai tenaga pengajar saja, lebih dari itu guru menjadi sumber
perbaikan, menjadi contoh, menjadi tauladan dan memberikan bimbingan kepada
anak didiknya agar anak didik tersebut tetap berada di jalan yang benar.[1]
Untuk itu dalam makalah ini akan membahas
mengenai model dan tipe guru dalam mengajar.
B. PERMASALAHAN
Dari pendahuluan di atas tentunya banyak pertanyaan
yang muncul mengenai kategori dan prototipe guru, di antaranya adalah:
- Bagaimana kategori guru ?
- Bagaimana prototipe guru?
- Bagaimana kategori dan prototipe guru menurut profesi keguruan ?
C. PEMBAHASAN
Kemampuan guru dibagi menjadi kelompok-kelompok yang
disebut kategori.[2] Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian kategori adalah bagian dari suatu sistem
klasifikasi (golongan, jenis pangkat, dan sebagainya).[3]
Sedangkan prototipe adalah model yang mula-mula (model asli) yang menjadi
contoh.[4] Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa kategori guru adalah pengklasifikasian kemampuan guru
berdasarkan model dan tipe tertentu.
1.
Kategori Guru
Sebenarnya persoalan yang paling mendasar pada sekolah
formal ialah guru yang mengajar dan iklim belajar (learning climate) di kelas
yang harus diciptakan. Bukan saja cara belajar siswa aktif tetapi juga cara
guru mengajar aktif (student learning active and teacher teaching active).
Model analisa mengenai situasi belajar mengajar di kelas yang dikemukakan
oleh Glickman disebut Paradigma Kategori guru. Yang dimaksud dengan Paradigma
ialah sesuatu yang dipertanyakan terus menerus,
dan timbul
pertanyaan: Apakah calon guru, lulusan pendidikan guru
dan para guru itu memiliki:
- Tingkat berfikir abstrak dan berpikir imajinatif yang cukup.
- Tingkat komitment atau memiliki keterlibatan aktif dalam tanggung jawab yang mendalam.[5]
a)
Guru yang memiliki tingkat berfikir abstrak
Guru yang tingkat berpikirnya abstrak dan imajinatif
yang tinggi, punya kemampuan untuk berdiri di depan kelas dan dengan muda
menghadapi masalah-masalah belajar mengajar seperti manajemen kelas, disiplin,
menghadapi sikap acuh tak acuh dari siswa dan mampu menentukan alternatif
pemecahan masalah. Ia juga dapat merancangkan berbagai program
belajar dan dapat memimpin siswa dari berfikir nyata ke berfikir
konseptual.
Ada kemungkinan sementara guru yang sibuk menganut
paham “Banking Concept”, menurut PAULO FREIRE; yaitu mengajar dikelas
dianggap sebagai bank, masukkan uang akan keluar bunganya. Mengajar dan
mendidik tidak demikian halnya.
Subjek didik bukan sebuah manusia, tetapi seorang
manusia. Praktek mendidik seperti ini disebut tidak manusiawi (The
humanization, menurut Paulo Freire).
Jadi guru yang tingkat berpikir abstraknya tinggi
mampu menghadapi masalah, sedangkan guru yang berpikir abstraknya rendah akan
bingung dalam menghadapi suatu masalah dan hanya melakukan kebiasaan-kebiasaan
rutin.
Berpikir abstrak dan imajinatif adalah kemampuan untuk
memindahkan konsep dan visualisasi, mengidentifikasi, kemampuan untuk
menangkap, mengkategorisasikan dan mengumpulkan. Untuk memilih-milih kondisi
yang ada digunakan matriks sebagai berikut:
TINGKAT BERPIKIR ABSTRAK
Yang Rendah
|
Yang Sedang
|
Yang Tinggi
|
1.
Bingung bila menghadapi masalah
2.
Tidak mengetahui cara bertindak bila menghadapi
masalah
3.
Berkata gaya tak mampu, tolonglah saya
4.
Memiliki hanya satu atau dua kebiasaan dalam
merespon suatu masalah
|
1.
Dapat memecahkan suatu masalah
2.
Dapat menaksir suatu atau dua kemungkinan pemecahan
masalah
3.
Mengalami berbagai gangguan berpikir bila memikirkan
suatu program yang bersifat komprehensip
|
1.
Dalam menghadapi masalah dapat mencari alternatif
pemecahan
2.
Dapat menggeneralisasi berbagai alternatif pemecahan
dalam memecahkan suatu masalah
|
Guru-guru yang memiliki kemampuan berpikir yang rendah
tidak mampu melihat dengan jelas problema yang dihadapi di kelas waktu mengajar
dan bila menghadapi kerja selalu bingung. Mereka tidak tahu apa yang dikerjakan
dan selalu memerlukan petunjuk dari atasan untuk menyelesaikan suatu masalah.
Mereka selalu menampakkan diri seolah-olah mata pelajaran yang diberikan itu paling
hebat dan sukar dikerjakan dan banyak sekali memberikan pekerjaan rumah tetapi
tidak pernah dibahas dan diperiksa.
Sedangkan guru yang tingkat abstraknya tinggi selalu
mampu melihat masalah itu dari berbagai perspektif (apakah dari dirinya
sendiri, dari siswa, dari orang tua, dan Kepala Sekolah dan sebagainya) dan
mampu mengabstraksi berbagai alternatif pemecahan masalah. Mereka juga
memikirkan berbagai kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi dan jarang
sekali sekarang ini guru ikut memikirkan dan menerangkan mengapa murid
mengalami kesulitan dalam memahami konsep matematika atau sulit membaca; ia
paling banyak hanya mengeluh.
b)
Guru yang memiliki tingkat komitmen
Guru bukan saja harus memiliki kemampuan berpikir
abstrak tetapi juga memiliki tingkat komitmen. Komitmen adalah kecenderungan
untuk merasa terlibat aktif dengan penuh tanggung jawab. Komitmen lebih luas
daripada kepedulian (concern). Comitment is longer than concern, because it
includes time and effort.
Seorang guru yang peduli terhadap tugas berati ia
memiliki tingkat kepedulian yang tinggi. Tingkat kepedulian harus diikuti pula
dengan etik profesional, bahwa ia memiliki komitmen terhadap jabatan guru.
Secara etis ia terikat kepada sumpah jabatan, ialah bahwa tugas pokoknya
memanusiakan manusia bukan mencari keuntungan pribadi.
Konsekuensi dari komitmen ini ia harus menyediakan
waktu dan energi dalam melakukan tugasnya. Komitmen ini tidak diperoleh sejak
lahir, tetapi harus dipelajari dan dikenal. Bagaimana membentuk rasa cinta pada
tugas sebagai guru. Program pendidikan harus mampu mengubah sikap calon guru
untuk kemudian dapat mencintai jabatan guru.
CIRI ORANG YANG MEMILIKI TINGKAT KOMITMEN
Komitmen
Rendah
|
Komitmen
Tinggi
|
1.
Tingkat keperdulian (concern) terhadap siswa sedikit
sekali
2.
Kurang menyediakan waktu dan tenaga untuk membahas
masalah-masalah
3.
Hanya memperdulikan satu tugas
|
1.
Tingkat keperdulian untuk siswa dan rekan sejawat
tinggi
2.
Selalu menyediakan waktu, tenaga yang cukup untuk
membantu siswa
3.
Sangat concern terhadap orang lain dan memperdulikan
orang lain.
|
c)
Guru yang memiliki tanggung jawab
Untuk bisa menjadi seorang guru yang bertanggung jawab
Imam Ghazali mensyaratkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.
Jika mengajar merupakan keahlian dan profesi milik
seorang guru, maka sifat utama yang harus dimiliki guru adalah kasih sayang.
Dengan sifat ini, seorang guru dapat menumbuhkan rasa percaya diri yang besar
pada diri siswa. Dengan kasih sayang dan rasa percaya diri yang tinggi, maka
akan tercipta situasi yang kondusif bagi siswa untuk belajar dengan semakin
giat dan rajin.
2.
Meskipun sangat susah untuk menerapkan faktor kedua
ini, tidak ada salahnya jika anda merenungkan pendapat Imam Ghazali yang
mengatakan bahwa mengajarkan ilmu itu pada dasarnya merupakan kewajiban
agama bagi setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Karena itu,
tidaklah pantas bagi seorang guru untuk menuntut upah dari aktivitas
mengajarnya itu. Mungkin, “mengajar tanpa dibayar” seperti ini sudah tidak
cocok diterapkan di zaman modern ini. Tetapi, makna terpenting yang bisa anda
renungkaan adalah jangan jadikan gaji yang sedikit sebagai alasan untuk
mengajar dengan kurang tulus dan kurang bersemangat.
3.
Seorang guru yang bertanggung jawab harus selalu
mengingatkan siswanya bahwa tujuan dari pengajaran adalah untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan, untuk memperbaiki diri, dan untuk mengabdi pada sesama.
Seorang guru tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan, dan
pertengkaran dengan sesama guru yang lain agar tidak menimbulkan kesan negatif
bagi siswa-siswanya.
4.
Pada saat mengajar, seorang guru hendaknya menggunakan
cara-cara simpatik, halus, anti kekerasan, menjauhi cacian, menghindari makian,
dan lain sebagainya. Dalam hal ini, seorang guru hendaknya jangan
menyebarluaskan kesalahan-kesalahan siswanya di depan umum. Hal ini dapat
membuat si anak memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang, dan bahkan
memusuhi gurunya.
5.
Anda harus tampil sebagai seorang teladan atau panutan
yang baik dihadapan siswa-siswa anda. Dalam hal ini, anda harus bersikap
toleran dan mau menghargai orang lain, termasuk siswa siswi anda. Jangan pernah
mencela ilmu-ilmu yang tidak menjadi keahlian atau spesialisasi anda.
6.
Anda harus mengajar dengan cara-cara yang sesuai
dengan tingkat atau kemampuan pemahaman siswa. Janganlah memberi pelajaran yang
belum dapat dicerna oleh siswa.
7.
Seorang guru yang bertanggung jawab adalah guru yang
mampu memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan siswanya. Selain itu,
ia juga harus memahami bakat, tabiat dan karakter kejiwaan siswanya sesuai
dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada siswa yang kemampuannya dalam menyerap
pelajaran kurang, hendaknya seorang guru tidak mengajarkan hal-hal yang rumit.
Jika tidak, maka akan timbul rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan
ragu-ragu dalam diri siswa.
8.
Seorang guru yang bertanggung jawab adalah guru yang
berpegang teguh kepada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya untuk
merealisasikannya. Al-Ghazali mengingatkan agar seorang guru jangan sekali-kali
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah
dikemukakannya agar guru tidak kehilangan wibawanya. Jika tidak, guru akan
menjadi sasaran penghinaan dan ejekan para siswa, yang pada gilirannya akan
menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur kelas. Ia tidak lagi mampu
mengarahkan atau memberi petunjuk kepada siswa-siswanya.[6]
2.
Prototipe Guru
Dengan menggunakan variabel pengembangan, yaitu:
tingkat berfikir abstrak dengan tingkat komitmen kita dapat mengadakan
klasifikasi guru-guru yang ada. Pengukuran dapat dilaksanakan dengan menggunakan
sebuah paradigma/model dengan menggambarkan persilangan dua garis, yaitu garis
tingkat berfikir abstrak secara vertikal, yang bergerak dari tingkat yang
rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Dari garis tanggung jawab/komitmen yang
secara horisontal bergerak dari tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi.
Atas dasar itu maka dapat dikategorikan empat sisi (kuadran) dan empat
prototipe[7]
guru:
a.
Kuadran I
Guru yang semacam ini mempunyai tingkat
abstraksi dan tingkat komitmen dan tanggung jawab yang rendah. Ia termasuk guru
yang kurang bermutu (drop out). Ia hanya melakukan tugas rutin tanpa
tanggung jawab dan perhatiannya hanya sekedar untuk mempertahankan
pekerjaannya. Ia memiliki sedikit sekali motivasi untuk meningkatkan kompetensinya.
Ia tidak tertarik untuk memikirkan perubahan apa yang perlu dibuat dan hanya
puas dengan melaksanakan tugas rutin; yang dilakukan dari hari ke hari.
b.
Kuadran II
Guru seperti ini memiliki tingkat tanggung
jawab dan komitmen yang tinggi tetapi tingkat abstraksinya rendah. Ia sangat
energetik, anthusias dan penuh kemauan. Ia berkeinginan untuk menjadi guru yang
lebih baik dan membuat situasi kelas lebih menarik sesuai dengan keadaan murid.
Ia bekerja sangat keras dan biasanya meninggalkan sekolah penuh dengan
pekerjaan yang akan dibuat dirumah. Sayangnya tujuan-tujuan yang baik tersebut
terhalang oleh kurangnya kemampuan guru untuk menyelesaikan persoalan dan
jarang sekali melaksanakan segala sesuatu secara realistis.
Guru
semacam ini digolongkan sebagai pekerja yang tidak memiliki tujuan yang pasti.
Salah satu faktor ialah kurangnya pemusatan perhatian karena terlalu sibuk dan
beban kerja yang bermacam-macam. Ia biasanya terlihat dalam berbagai kegiatan
(proyek) tetapi cepat dan mudah linglung, ketakutan dibanjiri oleh tugas yang
bertumpuk-tumpuk sehingga membebani dirinya sendiri.
Akibatnya
guru semacam ini jarang sekali menyelesaikan suatu usaha peningkatan belajar
mengajar secara tuntas dan sudah mulai lagi dengan melaksanakan tugas dan
program baru (guru semacam ini seringkali masuk ke kelas dan bertanya pokok
bahasan apa yang akan dibicarakan hari ini).
c.
Kuadran III
Prototipe guru semacam ini memiliki tingkat
tanggung jawab dan komitmen rendah tetapi tingkat berfikir abstraknya tinggi.
Ia pandai, mempunyai kemampuan bicara yang tinggi, selalu mencetuskan ide-ide
yang besar tentang apa yang bisa dikerjakan di kelas atau secara keseluruhan di
sekolah. Ia bisa mengajukan ide atau rencana-rencana besar secara gamblang dan
memikirkan langkah-langkah pelaksanaannya demi tercapainya program itu. Guru
seperti ini disebut pengamat yang analitik (analitical observer).
Ide-idenya tak pernah terwujud.
Ia
tahu apa yang harus ia kerjakan tetapi tidak bersedia mengorbankan waktu,
energi dan perhatian khusus untuk melaksanakannya.
d.
Kuadran IV
Tipe
guru semacam ini memiliki tingkat abstrak yang tinggi maupun tingkat tanggung
jawab dan komitmen yang tinggi. Ia benar-benar profesional melalui peningkatan
kemampuan yang terus menerus. Orang yang profesional selalu punya kemampuan
untuk mengembangkan dirinya terus menerus.
Baik siswa maupun teman
sejawat bersama-sama diajak untuk menunaikan tugas dan kewajibannya menentukan
berbagai alternatif, membuat program yang rasional dan mengembangkan serta
melaksanakan rencana kegiatan yang tepat. Tidak hanya melaksanakan hal-hal
tersebut di atas untuk kelasnya saja, tetapi untuk seluruh sekolah. Ia dihargai
oleh teman-teman sejawat, dan dihormati, dianggap sebagai “pemimpin” dan selalu
mau membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya.
Ia
tidak hanya mampu mencetskan ide-ide, aktivitas maupun sarana penunjang tetapi
ia juga terlihat secara aktif dalam melaksanakan suatu rencana sampai selesai.
Ia adalah seorang pemikir dan sekaligus pelaksana (He is thinker and a doer).
3.
Kategori
dan Prototipe Guru dalam Profesi Keguruan
Guru yang di butuhkan dalam
sekolah adalah guru yang profesional. Menurut Desi Reminsa (2008) menjadi sosok manusia
professional adalah tuntutan dalam setiap jenis jabatan, pekerjaan, ataupun
profesi. Dan, perlu diketahui bahwa dua satu hal paling penting yang menjadi
aspek penentu bagi keberhasilan sebuah profesi, yaitu sikap professional dan
kualitas kerja. Sederhananya, menjadi professional adalah menjadi sosok yang
ahli dalam bidangnya. Seseorang, apabila sudah ahli dalam bidang pekerjaan yang
digelutinya, maka ia akan mampu menjalankan pekerjaan itu secara professional
dan bertanggung jawab. Konsekuensi logis dari profesionalisme ini adalah mereka
akan memberikan hasil yang maksimal dan berkualitas.
Meski demikian, tidak semua ahli dapat menjadi sosok
yang berkualitas. Menjadi berkualitas itu bukan semata-mata persoalan ahli dan
tidak ahli, tetapi juga ditentukan pula oleh adanya integritas dan kepribadian yang mapan.
Dengan demikian, menjadi pribadi yang professional itu merupakan satu kesatuan
antara konsep kepribadian dan integritas yang lalu dipadupadankan dengan skill
atau keahlian.
Khusus pada profesi guru, menjadi professional
merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena guru
jelas-jelas bertanggung jawab pada kesuksesan anak-anak didiknya. Menjadi guru
memang mensyaratkan adanya keahlian tertentu minimal seorang guru harus
menguasai secara mendalam dan memahami materi pelajaran yang ia ajarkan.
Apabila seorang guru tidak menguasai materi pelajaran yang diampunya, maka
lunturlah profesionalismenya. Dengan pemahaman seperti ini, kita bisa memahami
kalau tidak semua orang bisa menjadi guru, bahwa menjadi guru itu memang tidak
mudah.
Banyaknya guru yang tidak professional pada dasarnya
merupakan konsekuensi logis dari apa yang mendorongnya untuk memilih profesi
itu. Tidak sedikit orang-orang yang “terpaksa” melamar menjadi guru karena
tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka dapatnya. Akhirnya, cukup dengan
modal mampu menyampaikan materi pelajaran, mereka sudah berani mendaftar
menjadi guru.
Bahkan, ada banyak lembaga pendidikan yang mengangkat
seorang guru semata-mata dengan pertimbangan “yang penting dia bisa mengajar”,
tanpa terlalu memikirkan sejauh mana keahlian, loyalitas dan dedikasi si calon
guru. Padahal, guru memegang peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan,
terutama demi mengentaskan kebodohan dan mengantarkan siswa-siswinya menuju
kesuksesan.
Mengingat bahwa profesi guru merupakan profesi yang
sangat mulia dan memiliki banyak tanggung jawab, maka diperlukan upaya maksimal
dari seorang guru agar bisa menjadi guru yang professional. Hal ini tidak lain
demi meningkatkan mutu pendidikan masyarakat Indonesia. Selain itu, guru
merupakan suatu jenis pekerjaan yang sangat lekat dengan citra kemanusiaan. Di
tangan seorang guru lah, masyarakat menggantungkan harapan dalam mencerdaskan
generasi muda. Karena itu, perlu di pahami beberapa kriteria dari
seorang guru professional, yaitu:
1.
Memiliki Keahlian dalam Mendidik
Setiap
orang bisa saja bekerja sebagai seorang guru, tetapi tidak semuanya bisa
menjadi guru yang benar-benar memiliki skill dan keahlian dalam
mendidik. Diperlukan upaya maksimal dan tak kenal lelah untuk bisa mencapai
tingkatan seorang guru yang professional, positif dan penuh motivasi. Berikut ini beberapa potensi positif yang harus dimiliki dalam
mendidik :
a.
Memiliki kemampuan intelektual yang memadai, terutama
yang berkaitan dengan materi pelajaran yang di ampu.
b.
Memiliki kemampuan untuk memahami visi dan misi
pendidikan, sehingga dapat membuat skala prioritas dan dapat bekerja secara
lebih terarah.
c.
Memiliki keahlian dalam mentransfer ilmu pengetahuan
atau menguasai metodologi pembelajaran dengan baik. Hal ini penting dimiliki
oleh masing-masing guru agar apa yang mereka ajarkan benar-benar tepat sasaran
dan efektif.
d.
Memiliki pemahaman yang baik tentang konsep
perkembangan siswa. Hal ini juga penting agar dalam mengajar guru dapat menilai
sampai sejauh mana keberhasilan mereka, apa saja kendala yang dihadapi dan
bagaimana menemukan solusi yang tepat.
e.
Memiliki kemampuan mengelola dan mengatur siswa
sehingga kegiatan belajar bisa berjalan dengan efektif.
f.
Memiliki kreativitas dan menguasai “seni mendidik”
sehingga kegiatan belajar dapat diikuti siswa-siswi dengan menyenangkan.
2.
Posisikan Diri sebagai Guru yang Berkualitas
Persoalan-persoalan
pendidikan yang sering muncul dewasa ini bukan hanya berkenaan dengan semakin
mahalnya biaya pendidikan. Namun, persoalan lain yang tak kalah ironis adalah
minimnya jumlah guru yang memiliki kualitas. Profesi yang dinilai memiliki
tenaga berkelas tinggi masih dianggap sebagai hal milik dari bidang pekerjaan
yang “elit” seperti teller bank, dokter, insinyur dan psikolog. Padahal, guru
seharusnya juga merupakan sebuah profesi yang sangat mulia dan karenanya layak
mendapat penghormatan yang tinggi di masyarakat. Mengingat begitu pentingnya
peran guru bagi proses perubahan dan perbaikan di masyarakat, maka sudah
sepantasnya kalau profesi guru ini ditempatkan pada posisi yang
terhormat.
Namun,
tinggi rendahnya kualitas sebagai seorang guru sebaiknya tidak ditentukan oleh
penilaian masyarakat, melainkan lebih kepada keberhasilan anak-anak
didik. Jika ingin menjadi seorang guru yang hebat, maka tunjukkanlah skill,
dedikasi dan pengorbanan yang maksimal demi meraih kemajuan pendidikan sehingga
kelak masyarakat luas dapat menilai sendiri sejauh mana kualitas seorang guru.[8]
D. ANALISA
Menurut analisis kami, guru-guru sekarang ini sudah
masuk dalam kategori dan prototipe guru. Karena setiap guru pasti memiliki
kategori dan tipe yang berbeda-beda dalam proses pembelajaran. Dimana ada guru
yang berkategorikan guru lemah yang mempunyai tingkat abstraksi rendah dan
tingkat komitmennya juga rendah. Kemudian ada guru yang
energik yang punya tanggung jawab dan komitmen tinggi, akan tetapi tingkat
abstraksinya rendah. Selanjutnya ada guru konseptor yang hanya pandai membuat
konsep-konsep baru tentang pembelajaran akan tetapi tidak mampu mewujudkannya.
Dan yang terakhir yaitu guru profeisonal, dimana tipe ini merupakan tipe yang
paling baoik dari tipe-tipe yang lainnya. Guru professional ini merupakan guru
yang ideal dalam pembelajaran yang mempunyai kemampuan yang lengkap dari
tipe-tipe lainnya, sehingga guru-guru sekarang diharapkan mampu menjadi guru
yang profesional.
E. KESIMPULAN
Setelah membahas tentang “kategori
dan prototipe”
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Kategori adalah bagian dari suatu sistem klasifikasi (golongan, jenis pangkat, dan sebagainya). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kategori guru adalah guru yang memiliki tingkat berfikir abstrak, guru yang memiliki tingkat komitmen dan guru yang memiliki tanggung jawab.
- Prototipe adalah model yang mula-mula (model asli) yang menjadi contoh. Untuk itu, ada empat prototipe guru: kuadran I (guru yang kurang bermutu (drop out)), kuadran II (guru yang kurang memusatkan perhatian (unfocus worker), kuadran III (guru seperti ini disebut pengamat yang analitik (analitical observer), kuadran IV (guru yang profesional).
- Kategori dan prototipe guru dalam profesi keguruan adalah
DAFTAR PUSTAKA
Made Pidarta. 2009. Supervisi Pendidikan
Kontekstual. Rineka Cipta: Jakarta
Mahmud Yunus. 1990. Pokok-Pokok Pendidikan Dan Pengajaran. PT Hidakarya Agung: Jakarta
Nurlaela Isnawati. 2010. Guru Positif-Motivatif. Laksana : Jogjakarta
Piet A. sahertian dan Ida Aleida Sahertian. 1992. Supervisi Pendidikan. PT Rineka Cipta: Jakarta
Sri Banun
Muslim. 2010. Supervisi Pendidikan
Meningkatkan Kualitas Profesionalisme Guru. CV Alfabeta IKAPI: Jakarta
Tim Penyusun Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2011. Kamus Bahasa Indonesia
untuk Pelajar, _: Jakarta
[3] Tim Penyusun Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa
Indonesia untuk Pelajar, _, Jakarta, 2011, hal.529
[5] Piet A. sahertian dan
Ida Aleida Sahertian, Supervisi Pendidikan, PT Rineka Cipta, Jakarta,
1992, hal.41-44
[7] Sri Banun Muslim, 2010. Supervisi
Pendidikan Meningkatkan Kualitas Profesionalisme Guru, Jakarta, CV
Alfabeta, IKAPI, hal. 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar