BEBERAPA
MASAIL FIQHIYAH DALAM KONTEKS SOSIAL BUDAYA DAN DASAR HUKUMNYA
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Masail Fiqhiyah
Dosen
Pengampu : Drs. Umar, Lc, M.Ag
Disusun Oleh :
1. Naila
Hulala : 111333
2. Dwi
Puspita Sari : 111334
3. Titien
Malichatin : 111335
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN
TARBIYAH
2014
A. Pendahuluan
Kehidupan sosial dari hari ke hari terus berubah bersama terjadinya
perubahan kondisi geografis, kebudayaan, komposisi penduduk, ideologi dan
penemuan-penemuan baru ilmu pengetahuan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini
akan terus berlangsung terus dan sangat menentukan peradaban umat manusia. Untuk
menyikapi hal tersebut haruslah ada jalan untuk penyelesaiannya yaitu dengan
ilmu masail fiqhiyah.
Masalah fiqhiyah merupakan persoalan-persoalan yang muncul pada konteks
kekinian dan persoalan tersebut belum pernah terjadi pada waktu yang lalu,
karena adanya perbedaan situasi yang melingkupinya. Persoalan-persoalan tersebut
dalam konteks sosial budaya berarti suatu kegiatan yang ada dalam suatu
masyarakat yang dikenal dan dijalani oleh masyarakat dalam kehidupan dan
berinteraksi abtar masyarakat. Seperti halnya Selamatan kandungan, nyanyian dan
musik dan masik banyak lagi yang selama ini sudah dikenal dan dijalani oleh
masyarakat itu terdapat kontroversi atas pelaksanaannya ada yang pro dan juga
ada yang kontra. Karena merupakan hal yang baru setelah wafatnya Rasulullah
SAW.
B. Rumusan
Masalah
Dari
pendahuluan di atas tentunya banyak pertanyaan yang muncul mengenai beberapa
masail fiqhiyah dalam konteks sosial budaya dan dasar hukumnya, diantaranya
adalah:
1. Bagaimana pengertian
sosial budaya ?
2. Bagaimana contoh masail fiqhiyah
dalam konteks sosial budaya ?
C. Pembahasan
1.
Pengertian Sosial Budaya
Sosial merupakan segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau
kemasyarakatan atau suka memerhatikan kepentingan umum. Budaya
adalah berasal dari kata sans dan bodhya yang merupakan pikiran, akal dan budi.
Budaya sering disebut tradisi atau adat istiadat. Sedangkan tradisi merupakan
hal-hal yang dikenal dan dijalani oleh masyarakat dalam kehidupan dan
interaksi mereka, baik berupa ucapan maupun meninggalkan sesuatu.[1]
Terciptanya sebuah kebudayaan dalam masyarakat bukan sekedar dari buah
pikir dan budi manusia, tetapi juga dikarenakan adanya interaksi manusia
dengan alam sekitarnya. Interaksi inilah yang menimbulkan adanya sosial budaya
dimana tidak hanya interaksi manusia dengan alam tetapi interaksi manusia
dengan manusia, manusia dengan Allah juga dapat menimbulkan sosial budaya.
Seingga menurut pemakalah tradisi (budaya) merupakan kebiasaan yang
dilakukan dan dijalani masyarakat secara terus menerus sehingga seakan-akan
budaya merupakan hukum tertulis bagi mereka. Maka tidak heran lagi apabila
masyarakat yang meyakini atau melakukan hal tersebut selalu mengkait-kaitkan
dalam aplikasi kehidupannya.
Tradisi atau budaya terbagi menjadi dua ditinjau dari segi diterima atau
tidaknya diantaranya[2]
:
1. ‘Urf Shahih
merupakan ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan
syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, hal
seperti ini dipandang baik dan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan
tidak bertentangan dengan syara’.
2. ‘Urf Fasid merupakan
‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan
syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu
tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan
dengan ajaran Tauhid yang diajarkan agama Islam.
Dapat disimpulkan sosial budaya merupakan segala hal yang dicipta oleh
manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya dalam kehidupan bermasyarakat yang
dilakukan secara terus menerus pada waktu tertentu.
2. Contoh Masail Fiqhiyah
dalam Konteks Sosial Budaya
Ada beberapa contoh masail fiqhiyah dalam konteks
sosial budaya salah satunya adalah sebagai berikut[3]:
a. Selamatan
kandungan
Kehadiran seorang anak merupakan dambaan bagi sebuah keluarga. Anak
merupakan kebahagiaan yang luar biasa, harta benda keluarga. Apalagi anak-anak
yang shaleh shalehah. Penerus perjuangan orang tuanya. Untuk mewujudkan hal
tersebut, berbagai cara calon orang tua maupun calon nenek kakek dilakukan.
Salah satunya adalah walimatul hamli atau sering kita sebut dengan
selamatan kandungan atau tingkeban (tujuh bulanan). Walimatul hamli
dilakukan ketika kandungan beumur tujuh bulan bertetapan pada bulan purnama
pada tanggal 14. Acara tersebut diawali dengan membaca shalawat barzanji dan
ada yang membaca surat Yusuf dan surat Maryam.
Walimah berasal dari kata walm, yang artinya berkumpul. Secara
syara’ walimah digunakan pada makanan yang dibuat untuk mengungkapkan sebuah
kebahagiaan. Bisa saja dia memperoleh kesenangan atau terlepas dari kesusahan.
Baik kebahagiaan itu telah atau akan terjadi atau bisa jadi belum ada sebab
yang melatar-belakanginya.
Dalam literatur fiqh, walimah ada sembilan macam. Yaitu walimat al-urs (pesta
pernikahan), walimah al-aqiqah (pesta tujuh atau 40 hari kelahiran), walimatu
al-hidzaq karena telah berhasil menghafal al-Quran, walimah al-naqiah karena
baru datang dari berpergian jauh, walimah al-i’zdar untuk anak yang baru
dikhitan, walimah al-wadlimah untuk keluarga yang ditimpa musibah
(kematian) dan walimah al-mu’dabah (pesta yang tanpa sebab).
Menyelenggarakan walimah dengan segala macam bentuknya di atas hukumnya sunnah. Sedangkan memenuhi undangan
walimah hukumnya sunnah kecuali dalam pernikahan dimana hukumnya telah berubah
menjadi wajib berdasarkan hadits Nabi Saw :
إِذَادُعِيَ
اَ حَدُ كُمْ الَي الْوَ لِيْمَةِ فَلْيَأْ تِهَا
Artinya: “Jika kalian diundang untuk menghadiri
walimah, maka penuhilah”.
Hadist tersebut hanya menjelaskan hukum walimatul al-‘urs dengan
konsekuensi hukumnya wajib. Sedangkan walimah al-hamli secara tekstual memang
tidak ada dalam kitab-kitab fiqh. Akan tetapi kalau dilihat secara definisi walimatul
al-hamli dikategorikan dalam fiqh. Oleh karena itu mengadakan walimatul
al-hamli boleh-boleh saja. Bahkan dianjurkan karena mengandung muatan doa
buat sang bayi yang ada dalam kandungan agar memperoleh keselamatan dan kelak
menjadi anak yang baik dan berguna.
b. Tradisi
mandi kembang
Suatu tradisi yang tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya
Islam akan menjustifikasi. Dalam prosesi walimah al-hamli, mungkin baca
al-Qur’an dan shalawat no problem bahkan dianjurkan. Yang menjadi
persoalan adalah tradisi mandi kembang yang dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Metode dalam mandi kembang sendiri bermacam-macam. Dan masing-masing
mengandung makna filosofis. Misalnya yaitu : sang istri duduk dikursi plastik
atau terbuat dari kayu yang tidak dipaku, maknanya supaya si jabang bayi
bisa lahir dengan mudah dan selamat; separuh tubuh sang istri dibalut dengan
kain kafan kemudian disiram dengan air yang dicampur dengan beraneka bunga dan
wewangian, maknanya supaya sang jabang bayi kelak bisa mengharumkan nama
keluarga; gayung yang dipakai terbuat dari batok kelapa yang masih ada isinya
beserta gagangnya terbuat dari pohon beringin, maknanya supaya si jabang bayi
bertutur bahasa yang halus dan bisa mengayomi masyarakat; calon nenek mengambil
kelapa kuning dan ditimang-timang bagaikan bayi kemudian diletakkan di tempat
tidur, maknanya waktu melahirkan nanti agar dipermudah oleh Allah.
Itu semua tergantung atau kembali pada pola pikir masyarakat masing-masing.
Sejauhmana anggapan mereka terhadap tardisi tersebut. Jika hanya menganggapnya
sebagai suatu tradisi yang turun temurun tanpa ada keyakinan sebagai sebuah
ajaran agama tentu tidak ada masalah. Karena dalam praktik tradisi mandi
kembang tidak menyalahi praktik Islam.
Manusia hanya bisa berbuat sesuai dengan kemampuannya. Demikian pula dalam
memohon pada Allah. Tak sedikit orang awam yang tidak mengerti bagaimana berdoa
dengan kata-kata. Apalagi dengan wirid-wirid yang begitu sering kita sebut
dengan istilah njelimet. Yang mereka bisa hanya dengan perbuatan asalkan
tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
c. Tradisi
bersih desa (upacara sadran)
Bersih desa merupakan salah satu upacara adat jawa yang diselenggarakan
setelah para petani panen padi. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa
syukur karena tanaman padi telah berhasil dipanen dan telah menghasilkan
panenan yang memuaskan. Disamping itu, sadran juga merupakan penghormatan
terhadap para leluhur yang telah meninggal dunia dan mendo’akan agar
dosa-dosanya diampuni oleh Tuhan, serta agar yang di tinggalkan selalu
mendapatkan keselamatan, murah rezeki dan mudah sandang pangan serta agar desa
terhindar dari bencana.
Bagi masyarakat jawa, kegiatan tahunan yang bernama sadranan ini merupakan
ungkapan refleksi sosial keagamaan. Hal ini dilakukan dalam rangka menziarahi
makam para leluhur. Ritual ini dipahami sebagai bentuk pelestarian warisan
tradisi dan budaya nenek moyang. Tradisi ini merupakan simbol adanya hubungan
dengan leluhur, sesama dan yang maha kuasa, serta sebuah ritual yang
mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam.
Adapun tujuan dari bersih desa yaitu agar masyarakat sekitar mengetahui
bagaimana sejarah dan perjuangan “danyang” dalam membuat, memberi nama dan
membentuk desa. Selain itu nyadranan juga menjadi ajang silaturahmi keluarga
dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya dan keagamaan. Sedangkan
hikmahnya dari bersih desa diantaranya dapat mempererat selahturahmi,
menanamkan sifat gotong royong, saling mendoakan satu dengan yang lainnya, dan
bersama-sama dapat merasakan susah maupun senang orang lain.
Adapun persiapan sebelum acara dimulai antara lain adalah membersihkan
makam-makam leluhur dan mempersiapkan tempat untuk selamatan (kenduri).
Sedangkan antusias warga dalam upacara bersih desa ini dapat dilihat dari
persiapan warga membuat makanan dan jajanan sebagai salah satu unsur pelengkap
ritual tersebut. Disamping dipakai munjung atau ater-ater kepada sanak saudara
yang lebih tua dan tetangga dekat. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan
solidaritas kepada sesama.
Hubungan antara keagamaan dengan budaya berada pada posisi yang saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks ini agama membutuhkan
budaya untuk lebih mudah masyarakat dalam memahami ajaran agama. Budaya
masyarakat yang sudah melekat erat mejadikan masyarakat jawa sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak
mengherankan kalau pelaksanaan bersih desa masih kental dengan budaya
Hindu-Budha dan animisme yang diakulturasi dengan nilai-nilai Islam oleh wali
songo. Dari tata cara diatas jelas bahwa bersih desa itu tidak sekedar ziarah
kemakam leluhur, tetapi juga terdapat nilai-nilai sosial budaya semisal budaya
gotong royong, pengorbanan, status sosial/ekonomi warga. Disini semakin jelas
adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari kaum tua kepada kaum muda.
Pola interaksi antara masyarakat lokal Hindu-Budha dan nilai-nilai islam
menjadikan Islam warna-warni.
d. Nyanyian
dan musik
Di
antara hiburan yang dapat menyegarkan jiwa, menggairahkan hati, dan memberikan
kenikmatan pada telinga, adalah nyanyian. Islam memperbolehkannya selama tidak
mengandung kata-kata keji dan kotor, atau menggiring pendengarnya berbuat dosa.
Demikian juga, tidaklah mengapa bila nyanyian itu diiringi dengan musik selama
tidak sampai melenakan. Bahkan itu dianjurkan pada momen-momen kebahagiaan
dalam rangka menebarkan perasaan gembira dan menyegarkan jiwa. Misalnya pada
hari raya, pesta pernikahan, kehadiran orang yang sekian lama pergi, resepsi
pada acara istimewa, aqiqah, atau saat kelahiran anak.
Dari
Aisyah ra. bahwa ia mengantar pengantin perempuan ke tempat pengantin laki-laki
dari kalangan Anshar. Nabi saw. berkata kepadanya,
يَا عَائِشَةُ مَاكَانَ
مَعَكُمْ لَهْوٌ ؟ فَإِنَّ اْلاَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ الَّلهْوُ
Artinya:
“Wahai Aisyah, mereka tidak menyertakan hiburan? Orang-orang Anshar itu
menyukai hiburan.”
Ibnu
Abbas ra. berkata bahwa ketika Aisyah menikahkan kerabat dekatnya dengan
seorang Anshar, Rasulullah saw. datang dan bertanya, “kalian akan menghadiahkan
gadis itu?” “Ya,” jawab mereka. Beliau lalu berkata, “Apakah kalian juga
menyertakan orang yang akan menyanyi?” “Tidak,” jawab Aisyah. Lantas Rasulullah
saw. bersabda, “Sungguh orang-orang Anshar itu romantis. Karenanya alangkah
baik jika kalian sertakan juga orang yang bertutur, ‘kami datang pada kalian/
Kami datang pada kalian/ Sejahteralah kami/ Sejahterahlah kalian.
Dari
Aisyah ra., ia berkata bahwa Abu Bakar ra. masuk ke rumahnya pada suatu hari
Mina (Hari Raya ‘Idul Adha), sedang saat itu disampingnya ada dua gadis yang
tengah bernyanyi dan memukul rebana, sementara Nabi saw. berada di situ dengan
menutupi wajahnya dengan pakaiannya. Serta merta Abu Bakar mengusir kedua gadis
itu. Mendengar itu, Nabi saw. membuka tutup wajahnya dan berkata, “Biarkan
mereka wahai Abu Bakar, saat ini adalah hari raya.”
Imam
Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa hadist-hadist tentang
dua gadis, permainan orang-orang Habasyah di Masjid Nabi saw., dan aplaus Nabi
buat mereka dengan mengatakan, “Ayolah terus, wahai Bani Arfidah!” dan
perkataan Nabi saw. kepada Aisyah, “Kamu ingin menyaksikannya?” dan berdirinya
Nabi bersama Aisyah untuk menonton hingga bosan, juga tentang Aisyahbermain
boneka bersama sahabat-sahabat wanitanya, dikomentari olehnya dengan
mengatakan, “Hadits-hadits itu semuanya terdapat dalam Shahih Bukhari dan
Muslim. Ini merupakan dalil yang jelas yang menunjukkan bahwa nyanyian dan
permainan itu tidak haram. Hadits-hadits ini menunjuk beberapa hal yang
ditolerir, antara lain:
Pertama, bermain (keterampilan), dan tidak asing lagi
tentang kebiasaan orang-orang Habasyah dalam menari dan bermain.
Kedua, kegiatan
ini dilakukan di masjid.
Ketiga, sabda
Nabi saw. kepada orang-orang Habasyah,
‘Ayolah terus, wahai Bani Arfidah!’ menunjukkan perintah dan aplaus untuk terus
bermain. Lalu bagaimana mungkin hal itu diharamkan?
Keempat, ingkarnya
Nabi atas sikap Abu Bakar dan Umar ra. yang membenci hiburan, dengan beralasan
bahwa saat itu adalah hari raya; yakni waktu bersenang-senang. Ini pun termasuk
hiburan yang menyenangkan.
Kelima, diamnya
Nabi saw. yang begitu lama ketika menyaksikan dan mendengarkan hiburan itu,
untuk menyenangkan hati Aisyah ra. Peristiwa itu menjadi alasan bahwa akhlak
yang baik dengan membuat senang hati para wanita dan anak-anak dengan
menyaksikan permainan itu lebih baik daripada sikap keras zuhud dan mengengkang
diri, serta menjauh dari kesenangan.
Keenam,
pertanyaan Rasulullah saw. kepada Aisyah, ‘Apakah kamu suka menyaksikannya?’
Ketujuh, dispensasi
hukum untuk menyanyi dan menabuh rebana dari dua orang gadis, .....,” dan
seterusnya, seperti yang diutarakan oleh Imam Ghazali dalam As-Sima.
Diriwayatkan
dari beberapa sahabat dan tabi’in ra. bahwa mereka mendengarkan nyanyian dan
tidak memandang hal itu sebagai dosa.
Adapun
hadits-hadits Nabi tentang larangan terhadap nyanyian, semuanya “penuh cacat”
dan tidak satupun yang selamat dari kritik para ahli hadits. Abu Bakar Ibnu
‘Arabi berkata, “Tidak ada satupun hadits shahih tentang pengharaman nyanyian.”
Ibnu Hazm berkata, “Semua riwayat tentang haramnya nyanyian adalah batil dan
palsu.”
Sering
kali nyanyian dan musik dibarengi dengan sikap berlebih-lebihan, minuman keras,
dan bergadang yang diharamkan. Inilah yang menyebabkan kebanyakan ulama
mengharamkan nyanyian atau memakruhkannya. Sebagian dari mereka berkata,
“Nyanyian termasuk kata-kata yang sia-sia yang disebut oleh Allah dalam
firman-Nya,
Artinya : ‘Dan di antara manusia (ada)orang yang
mempergunakan perkataan yang tidak berguna (laghwul hadits) untuk
menyesatlkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.’(Luqman:
6).
Mengomentari
ini, Ibnu Hazm berkata, “Ayat tersebut sesungguhnya menyebut satu sifat yang
barang siapa melakukannya, ia menjadi kafir, tanpa ada khilaf di kalangan
ulama; yaitu bila seseorang menjadikan jalan Allah sebagai bahan olok-olok.
Inilah yang dicela Allah swt. Namun Allah sama sekali tidak mencela orang yang
‘membeli’ laghwul hadits untuk sekedar menghibur dan menyegarkan
jiwanya, bukan untuk menyesatkan orang dari jalan Allah.”
Ibnu
Hazm juga membantah orang-orang yang menganggap bahwa nyanyian itu tidak
termasuk dalam kategori kebenaran, berarti ia termasuk kebatilan, karena Allah
swt berfirman,
Artinya:
“Tiada sesudah kebenaran itu melainkan kebatilan.” (Yunus: 32).
Ibnu
Hazm berkata, Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya:
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan sungguh bahwa bagi setiap
orang apa yang diniatkannya.”
Karena
itu, barang siapa mendengarkan nyanyian dalam rangka membantunya berbuat
maksiat kepada Allah, niscaya ia fasik—demikian juga selain nyanyian. Namun
barang siapa berniat sekedar untuk menghibur dirinya agar mengokohkan jiwanya
untuk semakin taat kepada Allah dan menggairahkan hatinya untuk berbuat
kebajikan, tentu ia adalah orang yang taat dan berbuat kebajikan pula, dan
perbuatannya itu benar adanya. Akan
halnya orang yang tidak berniat untuk taat maupun untuk maksiat, ia berarti
melakukan perbuatan sia-sia yang dimaafkan, seperti seseorang yang pergi ke
taman untuk rekreasi, duduk-duduk diberanda rumahnya untuk melihat-lihat
pemandangan, atau kegiatan mewarnai bajunya dengan warna ungu, hijau, atau
lainnya.....”
Namun
demikian, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan dalam masalah nyanyian
ini:
1. Tema
nyanyian hendaknya tidak berlawanan dengan etika dan ajaran Islam. Bila ada
nyanyian yang mengagung-agungkan minuman keras atau menganjurkan orang untuk
mengkonsumsinya, misalnya, tak pelak nyanyian itu berikut kegiatan
mendengarkannya adalah haram. Begitu juga hal-hal yang serupa dengannya.
2. Mungkin
tema nyanyian tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, akan tetapi cara menyanyikannya menyebabkan ia bergeser dari
wilayah halal ke wilayah haram. Misalnya, dengan tarian yang berlenggak-lenggok
untuk sengaja membangkitkan gairah nafsu dan syahwat.
3. Agama
memerangi sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam segala hal,
hinggapun dalam urusan ibadah. Maka berlebih-lebihan dalam urusan yang sia-sia
dam menghambur-hamburkan waktu tanpa guna, tentu lebih patut diperangi.
Ingatlah waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Tidak
diragukan lagi bahwa berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah dapat
mengorbankan waktu untuk kewajiban. Sungguh tepat ungkapan: “saya tidak
melihat sikap berlebihan, kecuali di balik itu ada kewajiban yang
ditelantarkan.”
4. Setelah
itu semua, tinggallah kini, agar setiap pendengar nyanyian hendaknya menjadi
ahli fatwa bagi dirinya sendiri. Apabila nyanyian atau yang semacamnya itu
dapat membangkitkan birahi, merangsangnya untuk melakukan maksiat, dan
menyebabkan unsur hewaninya mengalahkan unsur ruhani, ia seharusnya segera
menjauhinya dan menutup pintu yang menjadi jalan bagi hembusan angin fitnah
bagi hati, agama dan akhlaknya. Ia pun kini tenang dan dapat menenangkan yang
lain.
5. Ulama
sepakat bahwa nyanyian yang diiringi dengan hal-hal yang haram hukumnya haram
pula. Seperti nyanyian untuk mengiringi minuman keras, untuk mengiringi praktek
porno atau kejadian lainnya. Inilah yang diperingatkan oleh Nabi saw., yang
para pelaku dan pendengarnya diancam dengan siksa yang pedih. Rasulullah saw.
bersabda,
Artinya:
“Sungguh akan ada sekelompok orang dari umatku yang meminum khamr; mereka
menamainya dengan nama lain, lalu diiringi dengan musik-musik dan para biduan
wanita. Allah bakal menenggelamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan
mereka kera dan babi.”
Tidak
tentu bahwa yang diubah menjadi babi dan kera adalah bentuk fisiknya, bisa juga
mental dan kepribadiannya. Sosoknya sosok manusia namun jiwanya kera dan
mentalnya babi.
D. Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar